Tempo Doeloe
Kamis, 28 Maret 2013
Perintis Pers Wanita Indonesia
Gadis kelahiran Kotogadang, 20 Desember 1884 ini memiliki nama asli Siti Roehana. Namun kerap disapa Roehana Koeddoes.
Roehana Koeddoes adalah putri dari pasangan Moehamad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam. Sebagai seorang wanita yang lahir di Kotogadang pada masanya, Roehana adalah sosok seorang anak yang beruntung dari segi pendidikan. Terlahir di tengah keluarga yang intelek membuatnya dapat memperoleh berbagai pengetahuan yang sukar untuk didapatkan wanita pada umumnya saat itu. Pada masanya wanita seperti terbelakang ketimbang kaum lelaki apalagi soal pendidikan, hal tersebut ikut mendorong banyak anak perempuan untuk tetap bertahan dalam “kodratnya”, tidak memikirkan kemajuan dan menjalani rutinitas di dapur saja. Maklumlah saat itu pengaruh pemerintahan Belanda yang menempatkan bumi putera pada golongan bawah nyaris menyentuh semua aspek kehidupan rakyat Indonesia. Namun bagi Roehana ia tidak ingin masuk dalam ketidakadilan tersebut. Hal inilah yang menjadi awal keberhasilan seorang Roehana Koeddoes.
Ayah Roehana adalah seseorang yang berhasil di bidang tulis menulis dan seorang pegawai pemerintahan. Beliau kerap bertugas keluar daerah karena ilmu dan prestasi yang dimilikinya. Roehana kecil pun selalu ikut bertugas dengan ayahnya. Dari segi ekonomi dan pendidikan ia tidak kesulitan. Meski saat itu tidak ada sekolah umum untuk anak perempuan Roehana tidak pantang menyerah untuk medapatkan ilmu. Ayahnya mengenalkan huruf pada Roehana. Alhasil diusia 5 Tahun Roehana mampu mengenal abjad Latin dan Arab dan juga Arab Melayu. Dan berkat bantuan orang tua angkatnya, Ibu Adiesa yang merupakan tetangganya sewaktu ia ikut tugas ayahnya ke Alahan Panjang, diusia 8 tahun Roehana sudah dengan lancar membaca dan menulis dalam abjad Arab, Latin, Arab Melayu, Bahasa Melayu, dan Belanda. Ibu Adiesa juga mengajarkan Roehana merenda. Dan kerap ilmu lainnya didapatinya secara otodidak dari buku, majalah dan surat kabar yang dimiliki ayah dan orang tua angkatnya. Pada tahun 1897 ibu kandung Roehana meninggal dunia, setelah melahirkan adik Roehana yang ke-6. Ayahnya pun menikah dengan Asiah, adik Kiam. Hal tersebut dilakukannya agar Asiah dapat mengasuh Roehana dan adik-adiknya. Ayah tetap saja sering keluar daerah untuk urusan pekerjaan, namun Roehana makin tumbuh menjadi gadis dewasa. Sewaktu ayahnya bertugas ke Medan, ia tidak ingin ikut lagi. Ia ingin balik ke Kotogadang dan memajukan kampungnya dengan ilmu yang dimilikinya. Di Kotogadang, Roehana dan adik-adiknya hidup dan tumbuh dengan bimbingan Tuo Sini.
Menggali berbagai ilmu sudah menjadi kegemaran tersendiri baginya. Ia lebih memilih belajar berbagai ilmu dan kepandaian ketimbang bermain-main dengan teman sebayanya. Meski awalnya mendapat ejekan dari teman di Kotogadang karena lakunya yang sering menyendiri dan belajar, namun lambat laun teman-temannya tertarik dengan apa yang dilakukannya. Kegiatan Reohana membacakan cerita untuk adik-adiknya mengundang ketertarikan teman-temannya untuk mendengarkannya. Tanggapan positif tersebut berlanjut, teman-teman Roehana tidak hanya tertarik untuk mendengar tapi ingin ikut bisa membaca layaknya yang dilakukan oleh Roehana. Hingga lambat laun Roehana mengajarkan teman-temannya yang tertarik untuk menulis dan membaca. Hal itu pun mendapat tanggapan yang bagus dari keluarganya. Pada tahun 1908, saat Roehana berusia 24 tahun Roehana menikah dengan Abdul Koeddoes yang juga merupakan salah seorang keponakan ayahnya atas perjodohan Tuo Sini. Abdul Koeddoes juga merupakan lelaki yang berwawasan luas dan dikenal dengan kepiawaiannya menulis untuk surat kabar. Ia sangat mendukung niat dan keinginan besar Roehana untuk memajukan pendidikan kaum perempuan.
Ritinitas Roehana untuk mengajar teman-temannya berkelanjutan. Ia membagi berbagai ilmu yang didapatinya selama ini. Namun pastinya jalan yang dijalani Roehana tidaklah mulus, banyak dari masyarakat yang berfikiran picik tentang apa yang dilakukan Roehana. Khususnya dari para orang tua mereka kerap melarang anaknya untuk belajar dengan Roehana karena dianggap kegiatan itu akan membuat anak-anak mereka lupa dengan “kodrat” mereka untuk mengurusi rumah, tidak hanya itu banyak lagi pemikiran-pemikiran negatif yang mencoba menghalang-halangi langkah baik Roehana. Hingga akhirnya pemikiran negatif tersebut beredar luas, murid Roehana makin hari makin berkurang karena takut dengan orang tua mereka. Lambat-laun Roehana letih dengan semua hujatan untuknya hingga ia sempat pindah ke Maninjau dan Padang Panjang,
Roehana hidup di luar Kotogadang sekitar 3 tahun. Karena banyak murid yang meminta Roehana kembali ke kampung halaman lewat surat-surat yang dikirimnya pada Roehana, mereka meminta agar Roehana kembali ke kampung dan mengajar kembali, akhirnya tahun 1911 Roehana dan suaminya kembali ke Kotogadang.
Langkah Roehana makin kukuh untuk dapat memajukan pendidikan di Kotogadang. Ia mengadakan pertemuan dengan mengundang 60 Bundo Kanduang di Kotogadang dan juga yang berada di luar daerah (merantau). Roehana mengutarakan latar belakang, maksud, tujuan dan sejarah hidupnya secara panjang lebar. Tulisan Roehana mengundang desah kagum dari banyak kalangan.
Niatnya untuk mendirikan sekilah untuk kaum perempuan akhirnya dapat diterima warga Kotogadang. Tahun 1911 berdirilah Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) yang memberikan wadah untuk perempuan Kotogadang untuk menggali berbagai ilmu. Mulai dari tulis-menulis, budi pekerti dan berbagai keterampilan lainnya. Kepeduliannya pada pendidikan tidak berhenti sampai disitu. Berawal dari kegemarannya membaca lalu ia pun membiasakan menulis, ia pun memiliki gagasan untuk mendirikan surat kabar agar komunikasi dan misinya untuk memajukan perempuan dapat diperluas tanpa harus bertatap muka, namun punya sarana yang pasti seperti surat kabar. Dengan dukungan banyak pihak akhirnya Roehana mampu merintis surat kabar khusus untuk perempuan di tanah Melayu. Ia pun menerbitkan surat kabar Soenting Melajoe. Dimana Roehana menjabat langsung sebagai pimpinan redaksinya di Kotogadang dan dibantu oleh Ratna Djoewita di Padang. 10 Juli 1912 surat kabar Soenting Melajoe yang pertama terbit. Lewat surat kabar tersebutlah Roehana menyuarakan kepeduliannya terhadap nasib kaum perempuan di tanah Melayu dan berbagai hal lainnya yang berisikan penyemangat kaum wanita untuk maju. Roehana lahir sebagai wartawati dan pimpinan redaksi Surat Kabar Perempuan pertama di Indonesia. Kesungguhan dan dedikasinya yang tinggi untuk kemajuan perempuan membuka mata banyak perempuan melayu untuk hidup lebih maju dan tidak terlindas zaman.
Sampai kini, pusat kerajinan Amai Setia masih kokoh berdiri dan menjadi tonggak sejarah masyarakat minangkabau. Bahkan daerah itu kini terkenal sebagai wilayah pengrajin perak terbaik di wilayah sumatra barat. Tiada dipungkiri, ini semua berkat perjuangan Roehana Koeddoes, yang masih bersaudara misan Sutan Syahrir, pejuang kemerdekaan Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar