Tempo Doeloe
Kamis, 28 Maret 2013
MUSIK UNDERGROUND: eksistensi kaum muda pemberontak
Kata underground pada periode tahun 90-04 sempat naik daun, dan jadi basis sayap kiri bagi kalangan musisi independen. Di Bandung yang menjadi basis kelompok musisi indie, kata underground diterjemahkan sebagai bawah tanah, dengan arti khusus kebebasan buat berkarya.
Kata underground sering diartikan salah kaprah, sering diartikan sebagai band-band pembawa lagu-lagu keras. Padahal underground bisa diisi segala macam jenis musik, selama mereka belum masuk pada major label.
Aliran musik dalam underground bisa sangat beragam, mulai dari loud voice, midlle voice sampai yang kalem pun itu bisa, yang penting semangat dalam pembawaannya yang tidak boleh dilupakan, yang disebut dengan istilah “underground spirit”. Hal ini juga lah yang dapat membedakan jenis musik dan aliran apa yang mereka mainkan. Semangat pembebasan, dan kebebasan berekspresi, tanpa takut dibatasi atau dikebiri oleh selera pasar.
Namun memang underground lebih dekat dengan jenis musik metal. Jenis musik ini memang jauh dari incaran perusahaan rekaman besar yang, yang biasa disebut major label. Bahkan ada pendapat agak ekstrem, “Kalau band indie masuk major label, pasti konsep bermusiknya jadi beda, karena harus disesuaikan dengan pasar, dan tak dapat beridealis ria lagi".
Bicara idealisme, sebagian besar band-band indie mengusungnya baik dalam karya lagu, pementasan, bahkan ada yang membawa idealisme tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Bermacam jenis idealisme yang di usung band-band indie tersebut, misalnya isu anti kemapanan, isu anti major label, isu sosial, politik dan ekonomi, hingga atheisme.
Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam.
Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan. Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom indie dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non-mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasik mengenai istilah indie atau underground ini di tanah air.
Musik underground sendiri merupakan budaya cangkokan. Dimana dalam proses pencariannya membentuk kultur memberdayakan diri sendiri dan komunitas. Berangkat dari pemikiran itulah, para pelaku musik underground memiliki etos kerja ''''Do it Your Self". Karena musik underground merupakan musik subkultur bukan musik mainstream, dimana tidak semua orang bisa menikmati, tidak semua orang bisa melihat. Sehingga untuk tetap menjaga eksistensi musik ini harus dilakukan sendiri. Grup underground membuat konser sendiri, show sendiri, kecenderungannya lebih eksklusif karena kapitalisme sudah mengakomodasi musik itu sendiri.
Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terencem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia.
Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70-an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Indonesia.
Menjelang akhir era 80-an, anak-anak muda di seluruh dunia sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Kebanyakan kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut. Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima’ sekarang ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar