Tempo Doeloe

Tempo Doeloe
Yang luput dari perhatian umum

Sabtu, 29 Juni 2013

MOROTAI : RIWAYATMU DULU








Pulau Morotai  di wilayah Maluku Utara sepintas tidak berbeda dengan pulau- pulau kecil yang banyak tersebar di Indonesia.  Namun pulau mini yang berada di tepi Samudra Pasifik ini memiliki nilai historis tinggi bukan hanya bagi bangsa Indonesia tapi juga dunia.

Pada periode Perang Dunia II ( 1944 – 1945 ) pulau ini menjadi saksi bisu kepiawaian Sang Jendral Besar Pihak Sekutu Jendral Douglas Mac Arthur dalam menyusun strategi perang yang terkenal dengan istilah strategi lompat katak untuk menggulung kekuatan Balatentara Dai Nippon di wilayah itu.

Tepat tanggal 15 September 1944, diawali dengan tembakan-tembakan meriam dan serangan udara selama 2 jam penyerbuan ke Morotai dilakukan dari Biak. Dan pada pukul 08.30 pagi pantai Morotai berhasil  dikuasai.  Pasukan pendudukan Jepang mundur ke bukit-bukit, karena memang kekuatan pasukan Sekutu 100 kali kekuatan Pasukan Jepang yang bertahan di Morotai. Satu demi satu desa-desa seperti Totodoku, Baru, Gotatalamo, dan Jubod, serta kampung kampung sepanjang Sungai Sabatai di Pulau Morotai segera dikuasai Sekutu.

Tidak kepalang tanggung, Sang Jendral Besar Sekutu itu memindahkah markasnya dari Hollandia (Jayapura) ke Morotai dan memboyong semua kekuatan tempur ABDACOM
(Australian British Dutch and America Command)  dalam rangka persiapan sasaran berikutnya di kepulauan Formosa (Filipina). 









Dan untuk persiapan penyerbuan ke Filipina,  Jendral Mac Arthur membangun landasan pesawat terbang di Morotai yang dikenal dengan sebutan Pitoe Airstrip.  Pulau itu juga menjadi armada miilter terbesar untuk 150 kapal perang dengan pasukan infantri beberapa  resimen dan divisi dari berbagai Negara.   Langit Morotai pun di dipenuhi beragam jenis pesawat tempur yang tercanggih di masanya yang akhirnya menghantarkan pihak sekutu sebagai pihak pemenang perang dunia II.
Tahun 1962, Jejak Morotai kembali mencuat  saat Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung karno mencetuskan niatnya untuk mengusir antek imperialisme yang masih bertengger  di bumi Irian Barat. Maka operasi pembebasan Irian Barat melalui operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) pun digelar, Dan pulau Morotai kembali memegang peran utama dengan dijadikannya pulau itu sebagai  pusat pangkalan Udara Tentara Nasional.  Morotai dipakai sebagai titik kumpul pesawat-pesawat Pembom Strategis TU-16 AURI dan pesawat tempur MIG-17 AURI dalam rangka persiapan penyerbuan Pulau Biak di Irian Barat.  Pada operasi inilah Indonesia mengerahkan seluruh kekuatan armada perangnya yang kala itu sangat ditakuti di wilayah selatan.  Namun Operasi besandi Djajawidjaja batal, Belanda dan Indonesia sepakat melakukan gencatan senjata, dan Irian Barat kembali kepangkuan Ibu Pertiwi melalui diplomasi di PBB.

Jumat, 24 Mei 2013

TEROWONGAN SUROWONO : sepenggal teknologi air gaya majapahit


Di era modern ini membuat sebuah terowongan berapapun besar dan panjangnya bisa dibilang seratus persen bakal terwujud..terlebih dengan peralatan yang serba mutakhir belakangan ini.
Namun bagaimana bila pembuatan terowongan bawah tanah itu dilakukan seribu tahun yang lalu ?  mungkin tak pernah terbayangkan sedikitpun juga hal itu bisa diwujudkan.  faktanya ternyata bangsa Indonesia mampu membuatnya..terbukti dengan ditemukannya terowongan air bawah tanah di desa canggu, kediri yang bernama terowongan surowono hasil buah karya budaya peninggalan kerajaan Majapahit, sebuah kerajaan besar nusantara di abad 12-13.

Terowongan Surowono yang tersisa itu merupakan bagian kecil dari seluruh terowongan yang pernah dibuat di masa kejayaan Hayam Wuruk ketika memerintah Majapahit yang berfungsi untuk pengairan dan sumber air kehidupan bagi rakyat banyak.  Bahkan diyakini terowongan itu merupakan salah satu jalur air yang memasok kebutuhan air dan ditampung di kolam segaran di wilayah Trowulan, dimana ibukota pemerintahan Majapahit berada.

Ironisnya, sambungan terowongan air Surowono tersebut yang mengarah ke utara, dimana sumber mata air-atau umbulan berada kini sudah beralih wujud.  Semula lokasi itu merupakan petirtaan suci dengan dikelilingi tembok bata merah kuno berukuran besar dan bersusun dengan gaya arsitektur tinggi berhiasakan arca patung seorang wanita yang dari buah dadanya mengeluarkan sumber air alam tersebut.
Sayang, patung arca itu raib tak ketahuan rimbanya.  Sementara tembok keliling sudah dihancurleburkan rata dengan tanah dan diganti dengan tembok keliling yang sudah diplester semen sampai licin.  Tak tersisa sedikitpun jejak lokasi itu dahulu merupakan situs purbakala yang sangat berarti dan sakral...Alhasil, tempat itu kini berubah menjadi kolam renang yang tiap hari ramai dikunjungi warga sekitar sebagai salah satu bentuk hiburan dan olahraga

Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, tak jauh dari lokasi itu sekitar 400 meter, dimana terletak Candi Surowono, yang dalam kitab Negara Kertagama karya Mpu Prapanca disebut-sebut sebagai tempat menginap Raja Hayam Wuruk saat kunjungan kerja ke wilayah Kediri dan akan kembali ke Trowulan, Mojokerto, keadaannya lebih buruk lagi.  Candi itu tak terawat dan banyak ornamen yang hilang.  Entah hilang karena digerus waktu atau hilang karena keisengan para antikan- yang rajin memburu peninggalan kuno majapahit.

Dengan demikian, di desa Canggu itu yang masih bisa disaksikan tingginya peradaban masa lampau tinggalan kerajaan Majapahit tinggal terowongan Surowono, yang panjangnya sekitar 400 meter.    Hal yang membuat takjub adalah teknik yang digunakan untuk membuat terowongan air bawah tanah itu hanya menggunakan semacam alat pacul yang masa sekarang disebut ganco.  Selain cara menemukan sumber air di bawah tanah itu untuk dibuatkan jalur air yang tersambung satu dengan yang lain.

Dan hebatnya lagi, para arsitek majapahit pun sudah memikirkan di masa itu untuk sistim penghawaan sebagai jalan sirkulasi udara di dalam terowongan dengan membuat pintu keluar setiap 100 meter.  Tak salah bila disebut masa kerajaan Majapahit, bangsa Indonesia sudah memiliki  sebuah peradaban tinggi...

Sebuah torehan dan fakta sejarah yang sangat mengharu biru, bila di masa sekarang, bangsa Indonesia silau dengan kemajuan dan apa yang telah dicapai bangsa lain...

Dengan demikian menjadi sangat relevan bila slogan yang selalu dicetuskan Bung Karno...JAS MERAH-jangan sekali-kali melupakan sejarah....karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan menghormati sejarahnya sendiri....

Selasa, 09 April 2013

KIDUNG CINTA SOETAN SJAHRIR





REVOLUSI SEBUAH KATA BERMAKNA PERJUANGAN BAGI KELOMPOK ATAU PIHAK YANG INGIN MELAKUKAN REPUBAHAN..
NAMUN REVOLUSI PULA...ACAPKALI MENGHASILKAN BUAH YANG TIDAK SELAMANYA MANIS DAN HARUM BAGI PEMRAKARSA..DAN MEREKA YANG TERLIBAT DI DALAMNYA..
SALAH SATUNYA..SUTAN SYAHRIR
.

SALAH SATU PENDIRI BANGSA YANG SEJAJAR DENGAN SOEKARNO DAN MOH. HATTA...
SYAHRIR YANG AKRAB DISAPA BUNG KECIL..MENGHABISKAN WAKTUNYA DEMI TEGAKNYA IBU PERTIWI..
.SEJAK MUDA HINGGA AKHIR HAYATNYA..IA TETAP BERJUANG DAN MENJADI PENGHUNI TETAP BEBERAPA HOTEL PRODEO YANG MINIM FASILITAS..

PUNCAKNYA..SYAHRIR DENGAN RELA MENERIMA PREDIKAT TAHANAN POLITIK DARI TEMAN SEPERJUANGANNYA DULU DAN MENGHEMBUSKAN NAFAS TERAKHIR JAUH DARI NEGERI YANG DIPERJUANGKANNYA...
KEHIDUPAN PERCINTAAN DENGAN MARIA DUCEATEAU, SESAMA AKTIVIS SOSIALIS KANDAS KARENA.PERSOALAN POLITIS. PENJAJAH KOLONIAL BELANDA TAK RELA BILA SALAH SEORANG WARGANYA MENIKAH DENGAN WARGA PRIBUMI DI DAERAH JAJAHANNYA. TERLEBIH MULAI BELAJAR MENGENAL BUDAYA PRIBUMI DENGAN MEMAKAI BUSANA TRADISIONAL DAERAH JAJAHAN KETIMBANG PAKAIAN EROPA...
DALAM KEGALAUAN PANJANG, SYAHRIR MENEMUKAN GADIS PUJAAN BARU TEMPATNYA BERLABUH YAKNI SITI WAHYUNAH, KELAK DIKENAL SEBAGAI POPPY SYAHRIR....
PERJUANGAN DAN KEBERSAMAAN MAKIN MENGUATKAN CINTA ASMARA MEREKA HINGGA KE PELAMINAN DI KAIRO, MEI 1951.  TERLAHIR BUAH CINTA MEREKA SITI RABYAH PARVATI ATAU UPIK DAK KIRYA ARSJAD DIKENAL SEBAGAI BUYUNG

TRAGEDI TERULANG KEMBALI SESAAT, SYAHRIR DIKENAKAN TAHANAN POLITIK AKIBAT FITNAH KEJI

9 APRIL 1966, AWAN MENDUNG MENYELIMUTI INDONESIA, KETIKA SYAHRIR YANG MEMPEROLEH ULUKAN " THE SMILLING DIPLOMAT" HARUS MENGHADAP SANG KHALIK....

MENYISAKAN DASAR MORAL PERJUANGAN YANG TAK AKAN LEKANG DIMAKAN JAMAN BERUPA PESAN INTEGRITAS, KEJUJURAN DAN ETIKA MORAL BAGI PARA PEMIMPIN UNTUK TETAP MENGUTAMAKAN KESEJAHTERAAN DAN KEMAKMURAN KETIMBANG MEMPERKAYA DIRI SENDIRI MAUPUN KELUARGA SERTA KRONI...

SEBUAH PESAN YANG JAUH LEBIH BERKNA DAN PATUT DIRENUNGKAN DITENGAH HAUS LAPARNYA PARA ELIT POLITIK YANG GILA KEKUASAAN SAAT INI...

Rabu, 03 April 2013

SUPERSEMAR VERSI KE-4 DITEMUKAN.





SUPERSEMAR sebuah akronim yang sampai detik ini selalu  memunculkan kontroversial dan menjadi tanda tanya dalam benak seluruh bangsa Indonesia.  Disebut kontroversial karena secarik kertas yang diberikan Presiden Sukarno kepada Suharto untuk melakukan penertiban sesaat setelah meletusnya Gerakan 30 September muncul dalam bermacam versi dengan jumlah kertas berbeda-beda.  Ada yang satu rangkap, ada yang rangkap dua bahkan beredar rumor ada pula yang rangkap tiga. Juga mengenai persoalan logo atau kop surat yang dipakai. 
Menjadi tanda tanya karena secarik kertas berharga dan bernilai tinggi yang membuat perubahan besar tatanan bangsa Indonesia hilang tanpa rimbanya seolah lenyap ditelan bumi.    Tak satu pun orang yang sempat menyaksikan bentuk fisik surat tersebut.  Dan yang beredar saat ini dan menjadi koleksi Arsip Nasional RI juga hanya dalam bentuk soft copy.  Sementara orang-orang yang terlibat langsung satu demi satu sudah meninggal dunia. 
Orang banyak berharap suatu ketika M. Yusuf, sebagai pelaku satu-satunya yang masih hidup mau mengungkap keberadaan surat tersebut.  Sayang, sampai Jendral M Yusuf meninggal tak satupun ucapan mengenai supersemar keluar dari bibirnya, bahkan memoir pun tidak ada.  Alhasil, supersemar makin menjadi gelap dan mengalami kebuntuan.
Tidak sedikit kalangan akademisi mencoba menyodorkan beragam teori soal supersemar.  Ada teori menyebut surat itu sudah dibakar untuk menghilangkan jejak bahwa suksesi kepemimpinan Indonesia dilakukan dengan cara kudeta diam-diam oleh militer.  Ada pula yang berteori surat itu disembunyikan disuatu tempat tersembunyi dan akhirnya benar-benar hilang, ada pula yang menduga surat itu disimpan oleh kalangan militer tertentu.
Tidak satu pun orang yang pernah melihat wujud fisik supersemar itu, kecuali para pelaku yang kini semuanya sudah meninggal dunia. Disaat terakhir, orang masih berharap Jendral M. Yusuf, salah satu pelaku yang menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor dalam biografinya akan mempublikasikan SP 11 Maret yang diklaim disimpannya.  Sayang, setelah beliau meninggal di dalam biografinya hanya ada foto copy SP 11 Maret yang banyak dinanti...dan PALSU PULA.
Adalah Nurinwa, mantan peneliti LIPI yang belum lama ini menemukan fisik surat dari SUPERSEMAR.    Surat berwarna coklat kekuning-kuningan dan sobek dibeberapa bagian ditemukan Nurinwan disebuah lokasi yang jauh dari dugaan banyak orang, yakni di makam panglima perang Majapahit di daerah Surabaya.  Puluhan tahun surat itu disimpan dan dirawat oleh sebuah keluarga yang leluhurnya masih memiliki darah trah Majapahit. Dan surat itu BELUM PERNAH DIPUBLIKASIKAN.
Tidak mustahil penemuan SUPERSEMAR ini akan kembali berdampak pada situasi politik tanah air secara keseluruhan.

Minggu, 31 Maret 2013

Serambi Mekkah Tempo Doeloe




Aceh dijuluki Serambi Mekkah, merupakan sebuah wilayah kaya raya. Membaca riwayat sejarah Aceh tidak akan lepas dari potret perjalanan panjang sebuah suku bangsa yang penuh dengan air mata dan bersimbah darah. Militansi yang didasari semangat jihad fi sabililillah dalam menentang penjajahan dan ketidakadilan membuat perlawanan rakyat Aceh tidak pernah bisa dilumpuhkan. dalam waktu singkat.

Kerajaan Aceh Darussalam dibangun Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511 M yang merupakan penyatuan beberapa kerajaan kecil di aceh dan pesisir timur Sumatra seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara).

Sejak awal berdiri dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah hingga di masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, konflik dan perjuangan bersenjata melawan kolonialisme bangsa Eropa baik portugis maupun Belanda terus berkobar. Terlebih sejak abad ke 19, dibukanya terusan Suez makin membuat posisi kerajaan aceh dan selat Malaka menjadi lalulintas perdagangan sangat strategis dimata bangsa eropa sehingga hasrat menguasai daerah itu begitu besar.

Perlawanan rakyat Aceh menentang penjajahan terus berkelanjutan dari generasi ke generasi. Dari perlawanan yang dipelopori oleh Kasultanan sampai dilanjutkan dengan kaum ulama dan ullebalang yang menjadi motor pergerakan. Tersebut tokoh seperti Teuku Umar, Tgk. Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Cut Meutia menjadi martir kemerdekaan.



Memasuki paruh abad ke-20, ketika Jepang menduduki Aceh, perlawanan juga tidak pernah surut. Diberbagai tempat perlawanan terus berlanjut melihat tindakan kesewenanwenangan jepang sampai pada proklamasi kemerdekaan Indonesia. Salah satunya yang diperingati dengan adanya tugu Cot Plieng di pidie.

Periode awal revolusi fisik sampai masa akhir pemerintah Presiden Sukarno, hubungan aceh dan pemerintah pusat mengalami pasang surut. Tapi yang tak bisa dipungkiri, peran Aceh bagi pemerintah republic tidak kecil. Dengan bantuan financial dari masyrakat aceh, Indonesia bisa membeli pesawat Seulawah yang menjadi komoditi perjuangan dan penghasil pendapatan utk perjuangan.

Kekecewaan dan diingkarinya janji oleh pemerintah pusat membuat masyarakat aceh meradang dan Tgk Daud Beureuh mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah pusat dan menyokong Kartosuwiryo dengan Negara Islam Indonesia. Konflik bisa diakhiri dengan digelarnya musyawarah kerukunan masyarakat aceh dimana Daud Beureuh mau turun gunung dan kembali ke pangkuan RI. Dimana pemerintah pusat memberikan konsesi untuk mastarakat aceh sebagai Daerah Istimewa Aceh.

Pada periode orde baru, penekanan pembangunan lebih banyak terpusat di jawa dan luar jawa tidak memperoleh porsi yang besar, memunculkan persoalan baru lagi di aceh. Ketika Hasan Tiro memproklamasikan bentuk perlawanan terhadap pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) yang didirikan di gunung halimun 1976.

Pemerintahan pusat yang bersifat militeristik saat itu menjawab ketidakpuasan masyrakat aceh itu dengan mengelar operasi penumpasan GAM dan pemberlakuan Daerah Operasi Militer ( DOM) yang sangat menyakitkan hati masyarakt aceh pada umumnya dan merendahkan derajat suku bangas aceh. Tak terhitung berapa jumlah korban tewas pada masa-masa itu.

Berbagai upaya perdamaian terhadap kedua kubu yang bertikai terus digalakan dengan beragam mediator netral. Namun semuanya belum mencapai kata sepakat. Akhirnya, tahun 2004 bencana tsunami menerjang aceh dan meluluhlantakan kota. Peristiwa ini menjadi pendorong bagi kelompok yang bertikai antara GAM dan pemerintah pusat untuk saling intropeksi diri dan menggalakan perundingan demi tercapainya kedamaian yang abadi di bumi rencong,.***

Kamis, 28 Maret 2013

Perintis Pers Wanita Indonesia


Gadis kelahiran Kotogadang, 20 Desember 1884 ini memiliki nama asli Siti Roehana. Namun kerap disapa Roehana Koeddoes.

Roehana Koeddoes adalah putri dari pasangan Moehamad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam. Sebagai seorang wanita yang lahir di Kotogadang pada masanya, Roehana adalah sosok seorang anak yang beruntung dari segi pendidikan. Terlahir di tengah keluarga yang intelek membuatnya dapat memperoleh berbagai pengetahuan yang sukar untuk didapatkan wanita pada umumnya saat itu. Pada masanya wanita seperti terbelakang ketimbang kaum lelaki apalagi soal pendidikan, hal tersebut ikut mendorong banyak anak perempuan untuk tetap bertahan dalam “kodratnya”, tidak memikirkan kemajuan dan menjalani rutinitas di dapur saja. Maklumlah saat itu pengaruh pemerintahan Belanda yang menempatkan bumi putera pada golongan bawah nyaris menyentuh semua aspek kehidupan rakyat Indonesia. Namun bagi Roehana ia tidak ingin masuk dalam ketidakadilan tersebut. Hal inilah yang menjadi awal keberhasilan seorang Roehana Koeddoes.
Ayah Roehana adalah seseorang yang berhasil di bidang tulis menulis dan seorang pegawai pemerintahan. Beliau kerap bertugas keluar daerah karena ilmu dan prestasi yang dimilikinya. Roehana kecil pun selalu ikut bertugas dengan ayahnya. Dari segi ekonomi dan pendidikan ia tidak kesulitan. Meski saat itu tidak ada sekolah umum untuk anak perempuan Roehana tidak pantang menyerah untuk medapatkan ilmu. Ayahnya mengenalkan huruf pada Roehana. Alhasil diusia 5 Tahun Roehana mampu mengenal abjad Latin dan Arab dan juga Arab Melayu. Dan berkat bantuan orang tua angkatnya, Ibu Adiesa yang merupakan tetangganya sewaktu ia ikut tugas ayahnya ke Alahan Panjang, diusia 8 tahun Roehana sudah dengan lancar membaca dan menulis dalam abjad Arab, Latin, Arab Melayu, Bahasa Melayu, dan Belanda. Ibu Adiesa juga mengajarkan Roehana merenda. Dan kerap ilmu lainnya didapatinya secara otodidak dari buku, majalah dan surat kabar yang dimiliki ayah dan orang tua angkatnya. Pada tahun 1897 ibu kandung Roehana meninggal dunia, setelah melahirkan adik Roehana yang ke-6. Ayahnya pun menikah dengan Asiah, adik Kiam. Hal tersebut dilakukannya agar Asiah dapat mengasuh Roehana dan adik-adiknya. Ayah tetap saja sering keluar daerah untuk urusan pekerjaan, namun Roehana makin tumbuh menjadi gadis dewasa. Sewaktu ayahnya bertugas ke Medan, ia tidak ingin ikut lagi. Ia ingin balik ke Kotogadang dan memajukan kampungnya dengan ilmu yang dimilikinya. Di Kotogadang, Roehana dan adik-adiknya hidup dan tumbuh dengan bimbingan Tuo Sini.
Menggali berbagai ilmu sudah menjadi kegemaran tersendiri baginya. Ia lebih memilih belajar berbagai ilmu dan kepandaian ketimbang bermain-main dengan teman sebayanya. Meski awalnya mendapat ejekan dari teman di Kotogadang karena lakunya yang sering menyendiri dan belajar, namun lambat laun teman-temannya tertarik dengan apa yang dilakukannya. Kegiatan Reohana membacakan cerita untuk adik-adiknya mengundang ketertarikan teman-temannya untuk mendengarkannya. Tanggapan positif tersebut berlanjut, teman-teman Roehana tidak hanya tertarik untuk mendengar tapi ingin ikut bisa membaca layaknya yang dilakukan oleh Roehana. Hingga lambat laun Roehana mengajarkan teman-temannya yang tertarik untuk menulis dan membaca. Hal itu pun mendapat tanggapan yang bagus dari keluarganya. Pada tahun 1908, saat Roehana berusia 24 tahun Roehana menikah dengan Abdul Koeddoes yang juga merupakan salah seorang keponakan ayahnya atas perjodohan Tuo Sini. Abdul Koeddoes juga merupakan lelaki yang berwawasan luas dan dikenal dengan kepiawaiannya menulis untuk surat kabar. Ia sangat mendukung niat dan keinginan besar Roehana untuk memajukan pendidikan kaum perempuan.

Ritinitas Roehana untuk mengajar teman-temannya berkelanjutan. Ia membagi berbagai ilmu yang didapatinya selama ini. Namun pastinya jalan yang dijalani Roehana tidaklah mulus, banyak dari masyarakat yang berfikiran picik tentang apa yang dilakukan Roehana. Khususnya dari para orang tua mereka kerap melarang anaknya untuk belajar dengan Roehana karena dianggap kegiatan itu akan membuat anak-anak mereka lupa dengan “kodrat” mereka untuk mengurusi rumah, tidak hanya itu banyak lagi pemikiran-pemikiran negatif yang mencoba menghalang-halangi langkah baik Roehana. Hingga akhirnya pemikiran negatif tersebut beredar luas, murid Roehana makin hari makin berkurang karena takut dengan orang tua mereka. Lambat-laun Roehana letih dengan semua hujatan untuknya hingga ia sempat pindah ke Maninjau dan Padang Panjang,

Roehana hidup di luar Kotogadang sekitar 3 tahun. Karena banyak murid yang meminta Roehana kembali ke kampung halaman lewat surat-surat yang dikirimnya pada Roehana, mereka meminta agar Roehana kembali ke kampung dan mengajar kembali, akhirnya tahun 1911 Roehana dan suaminya kembali ke Kotogadang.
Langkah Roehana makin kukuh untuk dapat memajukan pendidikan di Kotogadang. Ia mengadakan pertemuan dengan mengundang 60 Bundo Kanduang di Kotogadang dan juga yang berada di luar daerah (merantau). Roehana mengutarakan latar belakang, maksud, tujuan dan sejarah hidupnya secara panjang lebar. Tulisan Roehana mengundang desah kagum dari banyak kalangan.

Niatnya untuk mendirikan sekilah untuk kaum perempuan akhirnya dapat diterima warga Kotogadang. Tahun 1911 berdirilah Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) yang memberikan wadah untuk perempuan Kotogadang untuk menggali berbagai ilmu. Mulai dari tulis-menulis, budi pekerti dan berbagai keterampilan lainnya. Kepeduliannya pada pendidikan tidak berhenti sampai disitu. Berawal dari kegemarannya membaca lalu ia pun membiasakan menulis, ia pun memiliki gagasan untuk mendirikan surat kabar agar komunikasi dan misinya untuk memajukan perempuan dapat diperluas tanpa harus bertatap muka, namun punya sarana yang pasti seperti surat kabar. Dengan dukungan banyak pihak akhirnya Roehana mampu merintis surat kabar khusus untuk perempuan di tanah Melayu. Ia pun menerbitkan surat kabar Soenting Melajoe. Dimana Roehana menjabat langsung sebagai pimpinan redaksinya di Kotogadang dan dibantu oleh Ratna Djoewita di Padang. 10 Juli 1912 surat kabar Soenting Melajoe yang pertama terbit. Lewat surat kabar tersebutlah Roehana menyuarakan kepeduliannya terhadap nasib kaum perempuan di tanah Melayu dan berbagai hal lainnya yang berisikan penyemangat kaum wanita untuk maju. Roehana lahir sebagai wartawati dan pimpinan redaksi Surat Kabar Perempuan pertama di Indonesia. Kesungguhan dan dedikasinya yang tinggi untuk kemajuan perempuan membuka mata banyak perempuan melayu untuk hidup lebih maju dan tidak terlindas zaman.

Sampai kini, pusat kerajinan Amai Setia masih kokoh berdiri dan menjadi tonggak sejarah masyarakat minangkabau. Bahkan daerah itu kini terkenal sebagai wilayah pengrajin perak terbaik di wilayah sumatra barat. Tiada dipungkiri, ini semua berkat perjuangan Roehana Koeddoes, yang masih bersaudara misan Sutan Syahrir, pejuang kemerdekaan Indonesia.

Bojong Kokosan yang terlupakan


Pertempuran Bojongkokosan yang tidak terlalu dikenal dalam buku sejarah nasional ini rupanya berefek sangat besar baik bangsa Indonesia maupun pihak sekutu. Peristiwa penyergapan tentara sekutu oleh para pejuang di desa Bojongkokosan ini rupanya memberikan inspirasi dan menambah motivasi para pejuang di Bandung dalam melawan tentara sekutu hingga akhirnya timbul perisiwa bersejarah lainnya yaitu Bandung Lautan Api.

Selama ini banyak orang hanya tahu perjuangan heroisme itu muncul pada peristiwa bandung lautan api. Tapi adakah yang tahu, bahwa pemicu awal dari peristiwa yang menginspirasi munculnya lagu halo-halo bandung itu, tidak lain dimulai dari sebuah desa kecil yang bernama bojongkokosan.

Sementara di Inggris sana sebagai dedengkot tentara sekutu langsung terjadi kehebohan karena jumlah korban yang jatuh di pihak sekutu dianggap cukup besar dan salah satu yang tewas ada seorang perwira tinggi tentara kerajaan Inggris. Terjadi perdebatan di parlemen Inggris yang juga menarik perhatian dunia. Akhirnya Inggris membalas perbuatan para pejuang tersebut dengan menugaskan angkatan udaranya untuk memborbardir kawasan Cibadak dan Cisaat.

Pencegatan konvoi Tentara Sekutu dari Jakarta menuju Bandung di Desa Bojong- kokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi pada 9 Desember 1945 belum dicatatkan dalam sejarah nasional Indonesia. Padahal, peristiwa itu layak disejajarkan dengan peristiwa 10 November di Surabaya.

Pencegatan konvoi di Bojongkokosan itu juga diyakini sebagai peristiwa pembuka Bandung Lautan Api 24 Maret 1946. Pengelola Museum Palagan Bojongkokosan, Sudrajat menuturkan, peristiwa Bojongkokosan terjadi setelah pejuang yang terdiri dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan laskar rakyat menerima informasi dari Bogor bahwa pasukan Sekutu akan melakukan konvoi dari Jakarta menuju Bandung.
Sebelumnya, pasukan Sekutu sudah mendarat di Kalijati, Subang menggunakan pesawat. Konvoi pasukan itu untuk menambah kekuatan Sekutu di Bandung. Selain itu, mereka juga bertugas mengambil tawanan Jepang yang sudah dalam pengawasan TKR. Ini menyebabkan gelombang perlawanan terhadap Sekutu terajadi di seluruh Pulau Jawa.

Menurut informasi yang diterima pejuang Indonesia, hanya ada dua truk pasukan Sekutu yang akan melalui jalur Bogor-Sukabumi-Cianjur- Bandung.
Kenyataannya, ada sekitar 100 pasukan yang beriringan dengan dikawal kendaraan lapis baja dan senjata modern. Pada pukul 15.00 pasukan Sekutu tiba di jalan yang berada di antara dua tebing di Bojongkokosan.

Kendaraan pengawal terjebak lubang yang sudah disiapkan oleh pejuang. Tembak-menembak pun terjadi hingga pukul 17.00. Pasukan Sekutu berhasil melanjutkan perjalanan ke Sukabumi. Namun, perlawanan terhadap mereka masih terus terjadi di sepanjang jalan. Hari berikutnya, pasukan udara Sekutu membombardir Cibadak, tempat antara Bojongkokosan dan Sukabumi. Dalam pertempuran Bojongkokosan hingga pengeboman Cibadak, 73 pejuang dan rakyat Indonesia tewas. Sementara itu, 50 tentara Sekutu tewas, 100 tentara luka, dan 30 lainnya hilang. Salah satu perwira Sekutu wilayah Jawa Barat yang namanya hingga kini belum diketahui juga tewas dalam pertempuran itu. Ini yang membuat peristiwa Bojongkokosan menjadi perhatian media internasional waktu itu.

Kendati demikian, ujar Sudrajat, peristiwa yang mengawali Bandung Lautan Api itu hingga kini belum dicatatkan dalam sejarah nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah selain di Sukabumi. Di Jawa Barat, peristiwa Bojongkokosan 9 Desember ditetapkan sebagai Hari Juang Siliwangi sejak tahun 2004. Abdurachman, Kepala Seksi Museum dan Kepurbakalaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sukabumi mengatakan, sejak bergulirnya otonomi daerah, sudah dilakukan upaya-upaya untuk mendorong peristiwa Bojongkokosan bisa dicatat sebagai salah satu peristiwa sejarah nasional. Saat ini, sudah tak ada alasan lagi pencegatan konvoi pasukan Sekutu di Bojongkokosan itu ditutup-tutupi. Sudah selayaknya semangat perjuangan yang sudah ditunjukkan oleh masyarakat Jawa Barat diakui dalam sejarah nasional.

Peristiwa ini memang kalah terkenal jika dibandingkan dengan peristiwa 10 November di Surabaya namun bagi masyarakat sekitar kejadian tersebut lebih nyata karena masih ada beberapa orang yang mengalami langsung peritiwa tersebut yang tidak jemu-jemu menceritakan kembali kisah heroik tersebut kepada anak-anak muda. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemda setempat agar peristiwa tersebut bisa diakui sebagai sejarah nasional. Hasil positif mulai didapat dari provinsi Jawa barat yang menjadikan tanggal 9 Desember ini sebagai hari juang Siliwangi. Selain itu untuk mengenang peristiwa tersebut makan pemda setempat juga membangun sebuah monument yang dinamakan Museum Palagan Bojongkokosan